NGANJUK, KrisnaNusantara.com – Keberadaan desa Jatirejo, kecamatan Loceret, kabupaten Nganjuk Jawa Timur, memiliki cerita cukup panjang.
Diperkirakan, desa Jatirejo ini sudah ada masa akhir kerajaan Majapahit, yakni masa pemerintahan Majapahit yang berpusat di Daha/Kadiri -sekarang Kediri.
Hanya saja, namanya kala itu bukan Jatirejo seperti sekarang. Melainkan bernama Jatigodean.
Jatigodean merupakan gabungan dua suku kata. Jati merupakan nama pohon jati, sedangkan Godean berasal dari bahasa Jawa gede yang berarti besar.
Konon, wilayah yang merupakan hutan jati berukuran besar ini ditemukan tokoh bernama R Joko Supono, seorang bangsawan dari barat yang menjadi anak angkat Kiai Ngaliman,
Saat itu, Joko Supono melakukan perjalanan ke arah utara, pergi meninggalkan rumah Kiai Ngaliman. Dan di kawasan hutan jati itulah, dipilih Joko Supono untuk menjadi tempat tinggal barunya.
Kepergian Joko Supono dari ayah angkatnya, ditengarai karena kepingin menjauhkan diri dari seorang gadis cantik bernama Roro Kuning.
Sebelumnya, Roro Kuning adalah kekasih sekaligus calon istri Joko Supono. Namun, Roro Kuning dan Joko Supono, gagal menjadi pasangan suami istri (Pasutri).
Sebab, Roro Kuning dipersunting menjadi selir seorang pangeran keturunan Raja Majapahit terakhir (familier dengan sebutan Raja Brawijaya V) yang berpusat di kerajaan Daha/Kadiri.
Karena Roro Kuning menjadi selir sang pangeran dan keduanya tinggal di rumah Kiai Ngaliman itulah, menjadi alasan Joko Supono meninggalkan rumah Kiai Ngaliman, ayah angkatnya.
Singkat cerita, Roro Kuning hamil. Di saat kondisi Roro Kuning berbadan dua, sang pangeran diharuskan kembali ke kerajaan Kadiri.
Karena tidak bisa dibawa serta ke kerajaan Kadiri, sang pangeran menitipkan Roro Kuning ke Kiai Ngaliman. Begitu juga dua abdinya bernama Joko Klante dan Joko Pluntur. Dua abdinya ini ditinggal di rumah Kiai Ngaliman untuk menjaga Roro Kuning.
Oleh sang pangeran, mereka juga diberi kempul wasiat dan teken wasiat, sebagai bukti mereka adalah orang ‘penting’. Biasanya, kempul wasiat dan teken wasiat itu selalu dibawa kemana-mana oleh raja saat berburu.
Hingga kemudian, Roro Kuning melahirkan seorang putri cantik dan diberi nama Dewi Lanjar. Sehari-harinya, Roro Kuning merawat Dewi Lanjar tanpa kehadiran sang pangeran, suaminya.
Lama berselang, Dewi Lanjar pun beranjak dewasa. Sementara sang pangeran tak kunjung datang ke rumah Kiai Ngaliman, untuk menemui Roro Kuning dan buah hatinya.
Hingga suatu hari, Roro Kuning mengiyakan permintaan Dewi Lanjar yang terus-terusan pingin ketemu ayahnya.
Dengan membawa Dewi Lanjar, putrinya, Roro Kuning pun nekat pergi ke kerajaan Kadiri untuk menemui suaminya. Kepergian ibu dan anak ini, juga disertai dua abdi mereka, yakni Joko Klante dan Joko Pluntur.
Di tengah perjalanan, Roro Kuning mendengar kabar jika kerajaan Kediri sudah hancur dan porak-poranda. Atas pertimbangan yang matang, niatan untuk menemui sang pangeran atau suaminya di kerajaan Kadiri pun dibatalkan.
Akhirnya, perjalanan mereka berhenti di suatu tempat. Dan tak disangka, di situ Roro Kuning bertemu dengan R Joko Supono, kekasihnya dulu.
Tempat pertemuan mantan sepasang kekasih itu, tak lain adalah wilayah hutan jati berukuran besar yang menjadi tempat tinggal baru Joko Supono, yakni Jatigodean.
Lama tidak bertemu, Joko Supono dan Putri Roro Kuning saling melepas rindu. Seakan Joko Supono tidak menyadari kalau mantan kekasihnya itu sudah jadi selir pangeran dan mempunyai seorang anak. Hanya saja, sang pangeran saat itu tidak bersamanya. Apalagi, kabar hancurnya kerajaan, sudah menyebar kemana-mana.
Sebenarnya, Joko Supono dan Putri Roro Kuning ini masih saling menaruh hati dan saling mencintai. Sebab itu, muncul niatan Joko Supono untuk menjadikan Roro Kuning sebagai istrinya.
Namun, Joko Supono teringat dengan sumpahnya ketika Roro Kuning dilamar menjadi selir pangeran. Sumpahnya itu yakni dia tidak akan menikah seumur hidupnya (madat).
Karena teguh memegang sumpahnya, Joko Supono pun membatalkan niatan memeperistri Roro Kuning.
Hanya saja, Joko Supono menaruh rasa iba ke Roro Kuning yang kondisinya terlunta-lunta, dan sang pangeran dimungkinkan sudah tiada saat terjadinya prahara di kerajaan Kadiri.
Kemudian, Roro Kuning diberi bagian wilayah yang berada di sisi barat Jatigodean, sebagai tempat tinggal bersama Dewi Lanjar, putrinya.
Karena posisinya menempel dengan Jatigodean, wilayah ini kemudian dikenal dengan nama Desa Tempel, hingga saat ini..
Singkat cerita, R Joko Supono berusia tua dan meninggal dunia. Dia kemudian dimakamkan di desa Jatigodean tersebut.
Karena sebagai orang pertama di desa Jatigodean, maka R Joko Supono dikenal sebagai cikal bakal atau sang pembabat desa Jatigodean atau juga disebut Danyang Jati.
Dan hingga saat ini, lokasi tersebut dikenal sebagai punden desa Jatirejo. Punden tersebut juga dikenal denga nama Punden Mbah Wadat atau Eyang Wadat. Nama ini melekat di situ, karena R Joko Supono tidak pernah menikah hingga akhir hayatnya.
Di masa kolonial atau pemerintahan Hindia-Belanda, di desa Jatigodean berdiri sebuah pabrik gula, bernama pabrik gula Jatie. Tepatnya, tahun 1889.
Jejak berdirinya PG Jatie tahun 1889, yakni adanya cerobong asap pabrik gula tersebut yang dikenal dengan sebutan Setom.
Karena ada pabrik gula, wilayah ini menjadi ramai. Masyarakat setempat yang merupakan orang Jawa, menyebut ramai dengan istilah Rejo. Hingga kemudian, Jatigodean berubah menjadi Jatirejo.
Adapun wilayah PG Jatie, sebelah utara sampai Koramil Loceret, sekarang. Kalau selatan sampai perempatan Jati atau pasar Gedek. Disebut pasar Gedek, karena bangunan pasar terbuat dari gedek (bambu yang dianyam).
Sedang tata keprajan pun atau kelurahan, wilayah Jatirejo (sebelumnya Jatigodean) hanya sebatas di lingkungan pabrik gula.
Dan Jatirejo, saat itu gagal menjadi sebuah desa. Karena, syarat menjadi sebuah desa, harus lebih du;u memenuhi 2 syarat. Yakni, selaku Soko Guru sebuah desa harus ada 35 gogol.
Untuk mencapai 35 gogol tersebut, kemudian ditambah dengan dusun Mojosari yang berada di wilayah desa Godean.
Karena ada perubahan luas wilayah Jatie, maka tugas modin melayani masyarakat wilayah Jatirejo (Jatie ditambah Mojosari), sehingga harus ada tambahan upah dengan diwujudkan bengkok intil.
Dan pada waktu itu, sekitar tahun 1889, disetujui oleh para pemuka masyarakat, maka berdirilah Desa Jatirejo. (*)
Sumber: nganjukkabgoid